Secara umum ‘mutu’ dapat
didefinisikan sebagai “karakteristik produk atau jasa yang ditentukan oleh customer
dan diperoleh melalui pengukuran proses serta perbaikan yang berkelanjutan”
(Soewarso, 1996: 7). Pendapat ini lebih menekankan kepada pelanggan
yaitu, apabila suatu pelanggan mengatakan sesuatu itu bermutu baik, maka
barang/jasa tersebut dapat dianggap bermutu.
Sebenarnya mutu dapat diartikan
dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangan orang yang
mengartikannya. Pfeffer & Coote (1991: 12) berpendapat bahwa
“kualitas merupakan konsep yang rumit”, karena kualitas memiliki implikasi
berbeda jika berkaitan dengan kualitas pendidikan. Kualitas merupakan ide
yang dinamis dan harus didefinisikan dengan tepat, agar dapat memberikan kejelasan
pemahaman. Meskipun demikian tidak akan menyebabkan kerancuan berpikir,
karena yang terpenting kualitas akan terlihat dalam praktek dan disimpulkan
dalam diskusi.
Mutu memiliki beberapa pengertian
yang berbeda menurut para ahli. Goetsch D.L dan Davis D.L (1997:3)
mendefinisikan mutu sebagai keadaan dinamik yang diasosiasikan dengan produk,
jasa, orang, proses, dan lingkungan yang mencapai atau melebihi harapan.
Istilah “keadaan dinamik” di sini mengacu pada kenyataan bahwa apa yang
dianggap bermutu dapat dan sering berubah sejalan dengan berlakunya waktu dan
pergantian keadaan lingkungan. Unsur “produk, jasa, orang, proses, dan
lingkungan” menunjukkan bahwa mutu tidak hanya berlaku untuk produk dan jasa
yang disediakan, melainkan juga orang dan proses yang menyediakan produk dan
jasa itu serta lingkungan di mana produk dan jasa tersebut disediakan.
Karena sifatnya yang dinamis Dawood (2007:125) menjelaskan “Quality is
elusive concept difficult to define; neither consultants nor business
professionals agree on a universal definition. Part of the difficulty appears
in expressing the philosophy and vision of quality in meaningful words and
concepts.
Dua perspektif dalam mendefinisikan
mutu menurut Russel (dalam Purnama, 2006:14-15). Perspektif pertama adalah
Producer’s perspective. Menurut perspektif ini kualitas produk
dikaitkan dengan standar produksi dan biaya; artinya produk dinilai berkualitas
jika memiliki kesesuaian terhadap spesifikasi dan memenuhi persyaratan biaya.
Perspektif kedua, Consumer’s perspective, menyatakan kualitas
produk dikaitkan dengan desain dan harga. Artinya kualitas produk dilihat dari
karakteristik kualitas dan harga yang ditentukan. Menurut kedua
perspektif tersebut, kualitas produk dapat tercipta jika terjadi kesesuaian antara
perspektif produsen dengan perspektif konsumen yang disebut dengan kesesuaian
untuk digunakan (fitness for consumer use).
Mutu dikatakan memiliki sifat
multidimensi. Produk dan kualitas layanan memiliki sejumlah dimensi yang
menentukan bagaimana persyaratan pelanggan tercapai. Elyse (2006:1)
mengungkapkan bahwa kualitas produk atau barang memiliki dua dimensi, yaitu:
- Physical dimension; A product’s physical dimension measures the tangible product itself and includes such things as length, weight, and temperature.
- Performance dimension; A product’s performance dimension measures how well a product works and includes such things as speed and capacity.
Mutu merupakan produk yang sempurna,
bernilai dan meningkatkan kewibawaan. Mutu dalam konteks pendidikan
sangat penting, karena berkaitan dengan lembaga yang terdiri dari komponen
peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan dan proses penyelenggaraan
pendidikan.
Definisi lain untuk memahami mutu
yaitu “….mutu adalah jasa pelayanan atau produk yang menyamai atau melebihi
kebutuhan dan harapan pelanggan” (Margono, 2002: 5). Konsep ini masih
menekankan kepada pelanggan, yaitu dapat diartikan produk tersebut bermutu
baik. Sedangkan menurut Deming (1986), “the difficulty in defining
quality is to translate quality is to translate future needs of the user into
measureable characteristics, so that a product can be designed and turned out
to give satisfaction at a price that the user will pay”. Definisi ini
menekankan pada konteks, persepsi costumer dan kebutuhan serta kemampuan
pelanggan. Artinya untuk mendefinisikan mutu, terlebih dahulu perlu
dipahami karakteristik tentang mutu itu sendiri. Deming sebenarnya
menekankan bagaimana suatu produk atau jasa itu dipersepsikan oleh pelanggan,
dan kapan persepsi pelanggan itu berubah, dengan demikian semakin pelanggan
merasa puas, maka selama itu pula produk/jasa dianggap bermutu.
Definisi mutu menurut Field (1993)
adalah “sebagai ukuran dari produk atau kinerja pelayanan terhadap satu
spesifikasi pada satu titik tertentu”. Pendapat ini lebih menekankan pada
“ukuran”. Ukuran di sini, tentunya bergantung pada jenis barang atau jasa
yang dihasilkan sebagai hasil kinerja manusia, baik yang berupa benda maupun
non-benda, yaitu berupa jasa layanan, seperti halnya dalam bidang pendidikan,
yang merupakan salah satu bentuk industri jasa atau pelayanan, yaitu pelayanan
akademik.
Sesuai dengan definisi di atas dapat
dikatakan bahwa mutu adalah suatu karakter atau batasan tertinggi dari suatu
produk atau jasa layanan yang dapat memenuhi harapan dan kepuasan
pelanggan. Oleh sebab itu, sudah selayaknya, jasa pelayanan pendidikan
harus dapat menghasilkan mutu yang baik, karena dengan mutu yang baik,
pendidikan akan mampu merebut pangsa kerja yang semakin sempit dan menantang untuk
selalu direbut sekecil apapun peluang tersebut. untuk itu berikut penulis
uraian konsep pendidikan yang bermutu.
Dalam kaitannya dengan konsep
pendidikan yang bermutu, Sallis (1993:280) menganalogikan bahwa pendidikan
adalah jasa yang berupa proses kebudayaan. Pengertian ini berimplikasi pada
adanya masukan (input) dan keluaran (output). Masukan dapat berupa
peserta didik, sarana prasarana seta fasilitas belajar lainnya termasuk
lingkungan, sedangkan keluarannya adalah lulusan atau alumni, yang kemudian
menjadi ukuran mutu, mengingat produk pendidikan merupakan jasa pelayanan, maka
mutu jasa pelayanan pendidikan sangat tergantung sikap pemberi layanan di
lapangan serta harapan pemakai jasa pendidikan. Hal ini berarti jasa
pelayanan pendidikan tidak berwujud benda (intangible) secara langsung,
namun secara kualitatif mutu jasa/pelayanan pendidikan dapat dilihat dari soft
indicator seperti kepedulian dan perhatian pada keinginan /harapan dan
kepuasan pelanggan jasa pendidikan.
Hoy et al, (2000) menjelaskan bahwa
mutu pendidikan adalah hasil penilaian terhadap proses pendidikan dengan
harapan yang tinggi untuk dicapai dari upaya pengembangan bakat-bakat para
pelanggan pendidikan melalui proses pendidikan. Demikian mutu pendidikan
merupakan suatu hal yang penting dalam proses pendidikan. Oleh karena itu
perbaikan proses pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mencapai
keunggulan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Selain pengertian mutu pendidikan
yang diuraikan di atas, mutu pendidikan dapat juga diartikan sebagai seseorang
yang telah mencapai tujuan kurikulum (objective of curriculum) yang
dirancang untuk pengelolaan pembelajaran siswa (Suryadi, 1993:159).
Konsep ini lebih menekankan kepada pengawasan dalam pencapaian tujuan kurikulum
pembelajaran, sehingga indikator umumnya adalah semakin tujuan kurikulum
tercapai, maka dapat dikategorikan suatu pendidikan yang bermutu.
Ditegaskan lebih jauh bahwa mutu pendidikan adalah kemampuan lembaga pendidikan
dalam mendayagunakan sumber-sumber pendidikan untuk meningkatkan kemampuan
belajar seoptimal mungkin. Analisis konsep ini lebih menekankan kepada
kinerja lembaga, yaitu kecenderungan semakin efektif dalam mendayagunakan
sumber-sumber pendidikan dan semakin baik hasil yang dicapai, maka dapat dikatakan
pendidikan tersebut memiliki mutu yang baik.
Agar mutu pendidikan yang baik dapat
tercapai, maka mutu tersebut harus didukung oleh sekolah yang bermutu.
Sekolah yang bermutu adalah “sekolah yang secara keseluruhan dapat memberikan
kepuasan kepada pelanggan (masyarakat)” (Margono, 2002). Pendapat ini
cukup beralasan, karena terlalu banyak pengelolaan sekolah, yang mengabaikan
kepuasan dan kebutuhan pelanggan, sehingga hasilnya pun akhirnya tidak mampu
untuk berkompetisi guna meraih peluang dalam berbagai bidang, khususnya dalam
menghadapi kondisi global dimana sekolah diharapkan dapat berperan lebih
efektif dalam mengembangkan fungsinya. Adapun yang dimaksud dengan
sekolah efektif atau sekolah unggul (excellent school) adalah sekolah
dalam lapangan manajemen sekolah, dengan karakteristik menurut Sallis (1979)
yakni: (1) guru memiliki kepemimpinan yang kuat dan kepala sekolah memberikan
perhatian tinggi terhadap perbaikan mutu pengajaran, (2) guru memiliki kondisi
pengharapan yang tinggi untuk mendukung pencapaian prestasi murid, (3 )
atmosfer sekolah tidak kaku, sejuk tanpa tekanan, kondusif dalam seluruh proses
pengajaran, berlangsung dalam suatu keadaan/iklim yang nyaman, (4) sekolah
memiliki pengertian yang luas tentang fokus pengajaran dan mengusahakan efektif
sekolah dengan energi dan sumber daya untuk mencapai tujuan pengajaran secara
maksimal, (5) sekolah efektif dalam menjamin kemajuan murid yang
dimonitor secara periodik.
Untuk meningkatkan mutu sekolah
diperlukan dukungan kepemimpinan kepala sekolah dan manajemen sekolah yang
efektif untuk mendukung kegiatan utama sekolah, yaitu proses belajar mengajar
di kelas. Kepala sekolah yang efektif ialah kepala sekolah yang
menjalankan kepemimpinan secara efektif. Oleh karena itu efektivitas
kepemimpinan kepala sekolah adalah mereka yang membuka diri untuk adanya
pengaruh guru dan pegawai terhadap persoalan penting sehingga produktivitas dan
mutu kinerja sekolah akan bertambah baik jika semua unsur personil bekerja di
bawah payung seorang pemimpin yang memenuhi harapan mereka. Sebaiknya,
kepemimpinan kepala sekolah yang tidak efektif adalah kepemimpinan yang
cenderung negatif, penuh kepalsuan dan kepura-puraan di kalangan guru dan
pegawai, yang cenderung lain kata lain tindakan, tidak saling percaya dang
mengelak dari tanggung jawab, serta tidak melibatkan guru, bawahan dalam
pengambilan keputusan. Dengan demikian kinerja guru dan pegawai merupakan
dampak dari perilaku kepemimpinan kepala sekolah.
Guru yang efektif adalah guru yang
berkinerja tinggi, terutama kinerja mengajarnya, yang bisa menciptakan iklim
pembelajaran yang kondusif bagi peserta didik untuk belajar dengan baik dan
hasil, dan terampil dalam mengajar dengan berbagai metode, tampil dalam
memberikan penguatan dan terampil pula dalam mengakhiri pelajaran, serta guru
menjadi teladan atau model dalam pandangan peserta didik dalam mencapai tujuan
pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar