Sistem Hukum Indonesia merupakan hal yang
telah menjadi wacana berkelanjutan, yang tidak hanya melibatkan ahli dan
pemerhati hukum, tetapi juga telah menarik ke dalamnya berbagai kalangan untuk
ikut menyampaikan pendapat. Ini merupakan sesuatu yang dapat dimengerti
mengingat dalam kenyataannya hampir tidak ada celah kehidupan yang tidak
‘diintervensi’ norma hukum.
Slogan-slogan Ubi Sociates Ibi Ius, Fiat Jutitia Ruat Caelum, dan lain-lainya menegaskan bahwa dalam
masyarakat yang paling sederhana sekalipun keberadaan norma hukum sebagai suatu
pranata sosial secara nyata telah menjadi qonditio sine quanon bagi
keberlangsungan masyarakat tersebut sebagai suatu entitas. Namun demikian,
apakah itu berarti hukum yang ada di suatu masyarakat telah menjadi sesuatu
yang sistemik, dengan kata lain apakah hukum yang ada pada masyarakat tersebut
telah terbangun menjadi sistem hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu harus
dipastikan dulu apa yang dimaksud sebagai sistem hukum, untuk dapat dijadikan
tolok ukur, karena mungkin saja yang terdapat pada suatu masyarakat adalah
aturan-aturan hukum yang berserakan, yang tidak saling berhubungan, atau
kalaupun berhubungan tidak saling mendukung, justru saling
melemahkan.
Berdasarkan
pendapat Ludwig von Bertalanffy, H. Thierry, William A. Shorde/ Voich Jr.,
Bachsan Mustofa ( 2003: 5-6) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem hukum
adalah sistem sebagai jenis satuan yang dibangun dengan komponen-komponen
sistemnya yang berhubungan secara mekanik fungsional yang satu dengan yang lain
untuk mencapai tujuan. Sistem hukum terdiri dari komponen jiwa bangsa, komponen
struktural, komponen substansial, dan komponen budaya hukum.
Suherman
(2004: 10-11) tidak sependapat jika pengertian sistem hukum hanya penggabungan
istilah sistem dan hukum. Menurutnya pengertian spesifik dalam hukum harus
tercermin dari istilah sistem hukum. Suherman mengemukakan pendapat J.H.
Merryman sebagai perbandingan. Menurutnya sistem hukum adalah suatu perangkat
operasional yang meliputi institusi, prosedur, atau aturan, dalam konteks ini
ada suatu negara federal dengan lima puluh sistem hukum di Amerika Serikat,
adanya sistem hukum setiap bangsa secara terpisah, serta ada sistem hukum yang
berbeda seperti halnya dalam organisasi Masyarakat Ekonomi Eropah dan
Perserikatan Bangsa-bangsa.
Bagaimanapun
juga, sebagai suatu sistem, sistem hukum seharusnya: terdiri dari
bagian-bagian, bagian-bagian tersebut saling berhubungan, masing-masing bagian
dapat dibedakan tetapi saling mendukung, semuanya ditujukan pada tujuan yang
sama, dan berada dalam lingkungan yang kompleks (pendapat ini dihubungkan
dengan pendapat Shrode dan Voich (dalam Amirin, 1987: 11)).
Untuk
komponen sistem hukum, pendapat yang sering dijadikan rujukan adalah apa yang
dikemukakan oleh Friedman (selain Mustofa dan Suherman, juga Acmad Ali (2003:
7-dst)), yang menyatakan bahwa sistem hukum meliputi substansi, struktur,
dan budaya hukum.
Ada pendapat bahwa hukum Indonesia, dengan segala
keterbatasannya, telah terbangun menjadi suatu sistem. Norma hukum
Indonesia, ada yang telah lebih teruji oleh waktu lebih dari seabad, melewati
berbagai dinamika masyarakat dan sampai saat ini masih berlaku. Sejak
pendidikan hukum dilakukan secara formal di Indonesia, sistem hukum Indonesia
telah menjadi bahan kajian. Hampir tidak ada yang menyerukan agar dilakukan
‘revolusi’[1] dalam
hukum, yang banyak diserukan adalah reformasi dalam bidang-bidang hukum
tertentu. Dengan demikian krisis hukum yang sering disebut-sebut, boleh jadi
bukan krisis dalam sistem hukum secara keseluruhan, tetapi krisis dalam
penegakan hukum.
Sebagai
suatu sistem, bagaimanakah gambaran umum Sistem Hukum Indonesia?[2] Dalam
kajian-kajian teoretik, berdasarkan berbagai karakteristik sistem hukum dunia
dibedakan antara: sistem hukum sipil;Sistem hukum anglo saxon atau dikenal juga dengan common
law; hukum agama; hukum negara blok timur(sosialis).
Eric L. Richard (dalam Suherman, 2004: 21) membedakan sistem hukum yang utama
di dunia(TheWorld’s Major Legal Systems) menjadi: civil law; common
law; Islamic law; socialist law; sub-Sahara Africa;dan Far East. Munir
Fuady (2007: 32-dst.) myatakan terdapat lebih dari 11 pengelompokan sistem
hukum.[3]Menurutnya
tradisi hukum dunia dibedakan antara: tradisi hukum Eropah Kontinental, tradisi
hukum Anglo Saxon, tradisi hukum sosialis, tradisi hukum kedaerahan, tradisi
hukum keagamaan.
Di
antara sistem-sistem hukum yang dikenal, sistem hukum Eropah Kontinental dan sistem
hukum Anglo Saxon banyak dipakai dan cenderung berpengaruh terhadap sistem
hukum yang dianut negara-negara di dunia. Sistem hukum Eropa Kontinental dikenal juga dengan sebutan Romano-Germanic Legal System adalah
sistem hukum yang semula berkembang di dataran Eropa. Titik tekan pada sistem
hukum ini adalah, penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis, berbagai ketentuan-ketentuan hukum
dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut
oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara
yang menganut sistem hukum ini.
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang
didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu
yang kemudian menjadi dasar bagi putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum
ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali
Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana
mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental
Napoleon).
Sistem
Hukum Adat dinyatakan dianut oleh beberapa negara di antaranya oleh Monggolia
danSrilangka (ada juga yang mengkategorikan Indonesia sebagai negara penganut
sistem hukum adat). Sistem hukum agama adalah
sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu, yang umumnya terdapat
dalam Kitab Suci. Arab Saudi, Iran, Sudan, Suriah, dan Vatikan dikategorikan
sebagai negara dengan sistem hukum agama. Selain negara-negara tersebut, beberapa
negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya
Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum
Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.
Secara
umum antara Sistem Hukum Eropah Kontinental dengan Sistem Hukum Anglo Saxon
dibedakan berdasarkan mana yang dipentingkan dalam pembentukan dan penegakkan
hukum, melalui peraturan perundang-undangan atau melalui jurisprudensi, secara
lebih mendasar mana yang lebih dipentingkan hukum tertulis atau hukum
kebiasaan. Mengingat kekurangan dan kelebihan antara hukum tertulis dengan
hukum kebiasaan, maka secara filosofis hal ini berhubungan dengan masalah
pengutamaan antara kepastian dan keadilan, yang meskipun sama-sama merupakan
nilai dasar hukum tetapi antara keduanya terdapat spannungsverhaltnis (ketegangan
satu sama lain).
Sistem
Hukum Eropah Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis, peraturan
perundang-undangan menduduki tempat penting. Peraturan perundang-undangan yang
baik, selain menjamin adanya kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi
terwujudnya ketertiban, juga dapat diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai
keadilan dan kemanfaatan. Lembaga peradilan harus mengacu pada undang-undang.
Sifat undang-undang tertulis yang statis diharapkan dapat lebih fleksibel
dengan sistem bertingkat dari norma dasar sampai norma yang bersifat teknis,
serta dengan menyediakan adanya mekanisme perubahan undang-undang.
Sistem
Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang
berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui
lembaga peradilan dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum
selalu sejalan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh
masyarakat secara nyata.
Apapun
sistem hukum yang dianut, pada dasarnya tidak ada negara yang hanya didasarkan
pada hukum tertulis atau hukum kebiasaan saja. Tidak ada negara yang sistem
hukumnya menafikan pentingnya undang-undang dan pentingnya pengadilan.
Kompleksitas
sistem hukum Indonesia dibentuk oleh perjalanan sejarah Bangsa Indonesia.
Pertama kali kebudayaan yang muncul adalah kebudayaan Indonesia asli. Sebagai
produk kebudayaan asli ini adalah hukum adat. Kebudayaan ini berlangsung
sebelum kedatangan kebudayaan India (Hindu). Selanjutnya Indonesia memasuki
masa pengaruh kebudayaan Hindu. Pada abad ke-13 sampai ke-14 masuk pengaruh
Islam, dan hukum Islam berkembang dan memperkaya sistem hukum yang ada di
Indonesia. Baru pada abad ke-17 masuk kebudayaan Eropa-Amerika.
Jika
hukum adat yang ada di Indonesia, dihubungkan dengan corak dasar kedua sistem
hukum yang paling berpengaruh (Eropah Kontionental dan Anglo Saxon), cenderung
lebih dekat dengan sistem Ango Saxon. Hukum adat terbangun dari
kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu,
yang kemudian oleh masyarakat ditempatkan lebih dari sekadar norma kesopanan
atau kesusilaan menjadi norma hukum (opinio
juris sive necessitatis).
Masyarakat tradisional Indonesia yang bercorak patriarkhis, menempatkan
tetua-tetua/ pemuka-pemuka adat sebagai tokoh penting yang menentukan hukum
jika masyarakat menghadapi suatu persoalan. Meskipun tidak ketat mengikat, apa
yang diputuskan akan diikuti jika terjadi lagi hal serupa. Jadi Mirip dengan
sistem preseden. Peran tetua/ tokoh/ ketua suku menjadi sangat penting dalam
membentuk hukum, sehingga dapat dipahami jika yang dipilih seharusnya yang
paling berpengetahuan dan bijak.
Pada
masa kolonial Belanda, dengan penerapan asas konkordansi, maka hukum yang
berlaku di Hindia Belanda sejalan dengan hukum yang berlaku di Belanda. Belanda
merupakan salah satu pendukung terkemuka sistem hukum Eropah Kontinental.
Dengan demikian, secara mutatis mutandis sistem Eropah
Kontinental dilaksanakan di Indonesia. Walaupun demikian pada dasarnya Belanda
menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek) yang
membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan
hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di
Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku
pluralisme hukum. Dengan adanya lembaga penundukan diri secara sukarela, banyak
penduduk Indonesia saat itu menunduukan diri untuk terikat pada Hukum Barat,
terutama yang berusaha di bidang perdagangan. Dalam perkembangan hukum di
Indonesia selanjutnya, tampak kuatnya pengaruh hukum kolonial dan cenderung
meninggalkan hukum adat (Daniel S. Lev, 1990 : 438-473).
Setelah
kemerdekaan, pengaruh Sistem Eropah Kontinental tampak dalam semangat
untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi. Meskipun Hukum Adat tetap diakui,
tetapi pandangan yang lebih mengemuka adalah dalam pembangunan hukum maupun
optimalisasi fungsi hukum sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial
dilakukan melalui peraturan perundang-undangan. Ajaran
yang sangat berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat beberapa waktu
sebelumnya, yaitu Mazhab Sejarah yang dipelopori oleh Von Savigny dan teori
keputusan yang dikemukakan oleh Ter Haar, dianggap tidak relevan. Mazhab
sejarah menyatakan bahwa hukum itu hinkt achter de feiten aan, hukum
itu tidak dibuat tetapi tumbuh secara historis atas dasar peristiwa-peristiwa
yang sudah terjadi. Teori keputusan menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang
diakui oleh penguasalah yang merupakan hukum. Kedua mazhab ini menyatakan bahwa
hukum hanya menyangkut kejadian yang sudah sering terjadi. Kedua paham ini
dianggap tidak sejalan dengan pembangunan yang identik dengan perubahan, dengan
kemungkinan terjadinya hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Dari sudut
pandang ini inilah kedua mazhab ini dianggap tidak relevan (lihat antara lain
Sunarjati Hartono, 1982).
Dalam perkembangannya kemudian, sebagai dampak
pergaulan Indonesia dalam kancah internasional, munculah bidang-bidang hukum
baru seperti corporative law, computer law, cyber
law, dan sebagainya. Kebijakan dalam bidang-bidang ini dan
kebijakan-kebijakan global lainnya, legitimasinya banyak mengacu pada Sistem Common law.
Pemberian
wewenang yang lebih luas kepada Pengadilan Agama, tidak hanya sekadar menangani
nikah, talak, rujuk, juga membuat pengaruh Hukum Islam bagi warga Negara
Indonesia yang beragama Islam semakin luas, setelah sebelumnya memberikan warna
bagi Hukum Adat di beberapa tempat di Indonesia.
Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum
yang unik, sistem hukum yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan,
adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada.Sistem hukum Indonesia tidak hanya
mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum
yang dianut oleh masyarakat internasional.
Tidak
hanya unik, sistem hukum Indonesia adalah sistem yang masih penuh dengan
dinamika, untuk mencari format di mana ketertiban dan keteraturan hukum
sipil mendapat tempat, dengan tidak mengesampingkan keluwesan hukum Anglo
Saxon, serta tidak menghilangkan suasana kebatinan masyarakat Indonesia.
Pencermatan
terhadap kondisi nyata sistem Hukum Indonesia dan Sistem Hukum yang
dicita-citakan seharusnya menjadi bahan pertimbangan dalam pembangunan hukum, termasuk
dalam pembangunan pendidikan hukum. Legislator yang handal dan Juris yang
berkemampuan sama-sama diperlukan. Tetapi, ahli mana yang jumlahnya lebih
banyak dibutuhkan, keahlian apa yang lebih banyak diperlukan tentu berbeda.
Komitmen
untuk menegakkan supremasi hukum selalu didengungkan, tetapi keberadaan
hukum maupun sistem hukum bukanlah merupakan ciri mendasar dari supremasi
hukum. Supremasi hukum ditandai dengan penegakan rule of law yang sesuai
dengan, dan yang membawa keadilan sosial bagi masyarakat. Jadi yang terutama
dan diutamakan adalah hukum dan sistem hukum yang membawa keadilan bagi
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Amirin, Tatang M.
1987. Pokok-pokok Teori Sistem. Jakarta: CV. Rajawali.
Ali, Achmad. 2002. Keterpurukan
Hukum Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Fuady, Munir. 2007. Perbandingan
Ilmu Hukum. Bandung: Refika Aditama.
Hartono, Sunarjati.
1982. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Jakarta: Bina
Cipta.
Lev, Daniel S. 1990. Hukum
dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta: LP3S.
Suherman, Ade Maman.
2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Mustafa, Bachsan.
2003. Sistem Hukum Indonesia terpadu. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar